Rabu, 28 Desember 2011


PANTAI PARANGTRITIS
WARNA HIJAU DAN RATU KIDUL
(Bencana & Mistis)


Sejarah nama Parangtritis bisa dibilang cukup menarik. Konon, ada seorang pelarian dari Kerajaan Majapahit bernama Dipokusumo yang melakukan semedi di kawasan ini. Ketika sedang bersemedi, ia melihat air yang menetes (tumaritis) dari celah-celah batu karang (parang). Kemudian ia memberi nama daerah tersebut Parangtritis yang berarti air yang menetes dari batu.
Pantai Parangtritis diyakini merupakan perwujudan dari kesatuan trimurti yang terdiri dari Gunung Merapi, Keraton Jogja, dan Pantai Parangtritis itu sendiri. Masyarakat setempat meyakini Pantai Parangtritis merupakan bagian dari daerah kekuasaan Ratu Selatan atau yang dikenal dengan nama Nyai Roro Kidul. Menurut mereka, Nyai Roro Kidul menyukai warna hijau, oleh karena itu wisatawan yang berkunjung ke Parangtritis disarankan tidak memakai baju berwarna hijau. Selain sarat dengan kisah misteri Nyai Roro Kidul, Pantai Parangtritis juga dikisahkan sebagai tempat bertemunya Panembahan Senopati dengan Sunan Kalijaga sesaat setelah Panembahan Senopati selesai menjalani pertapaan. Selain terkenal sebagai tempat rekreasi, Parangtritis juga merupakan tempat keramat. Banyak pengunjung yang datang untuk bermeditasi. Pantai ini merupakan salah satu tempat untuk melakukan upacara Labuhan dari Keraton Jogjakarta.
Selain terkenal sebagai tempat rekreasi, parangtritis juga merupakan tempat keramat. Banyak pengunjung yang datang untuk bermeditasi. Pantai ini merupakan salah satu tempat untuk melakukan upacara Labuhan dari Kraton Yogyakarta.
Sering terdengar kabar ada pengunjung pantai selatan hilang terseret ombak. Dan biasanya jenazah bisa ditemukan oleh tim SAR dalam jangka waktu antara dua sampai tiga hari. Dan bahkan tempat ditemukannya jenazah itu berada jauh dari pantai. Bahkan bisa mencapai berkilo-kilo meter.
Dari beberapa kasus yang terjadi, membuat banyak masyarakat lebih percaya pada mitos yang berkembang bahwa penguasa laut selatan Nyi Roro Kidul sering melenyapkan korban yang tidak mematuhi aturan atau kaidah alam.
 Dengan banyaknya mitos-mitos yang berkembang di dalam masyarakat, hampir setiap malam Jumat Kliwon dan Selasa Kliwon, para pengunjung maupun nelayan setempat melakukan upacara ritual di pantai tersebut. Acara ritual diwarnai pelarungan sesajen dan kembang warna-warni ke laut. Puncak acara ritual biasanya terjadi pada malam 1 Suro, dan dua-tiga hari setelah hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Intinya, nelayan meminta keselamatan dan kemurahan rezeki dari penguasa bumi dan langit.
By MC Umam


2 komentar:

  1. Hal-hal mistis seperti itu sudah menjadi hal biasa bagi masyarakat awam, dan tentunya akan sulit untuk merubah paradigma berpikir mereka...

    BalasHapus
  2. Memang sulit untuk merubah paradigma masyarakat. Mereka sudah menganggap bahwa hal-hal seperti itu sudah menjadi bagian dari kehidupan.

    BalasHapus